Pages

Subscribe:

Labels

Sabtu, 11 Februari 2012

jigsaw sebagai model alternatif dalam meningkatkan motivasi anak d proses pembelajaran

Keberadaan  Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah
Pembelajaran apresiasi sastra merupakan salah satu materi pokok yang dipelajari di sekolah selain materi kebahasaan. Melalui pembelajaran apresiasi sastra (prosa, puisi dan drama), ada empat aspek keterampilan berbahasa yang dapat dipelajari oleh siswa, yaitu aspek mendengar (baca: menyimak), membaca,  menulis, dan berbicara. Melalui keempat aspek ini, siswa dapat  belajar menggali informasi, mengungkapkan gagasan dan pikiran, mengembangkan ide, berimajinasi,  berkomunikasi secara lisan maupun tertulis, dapat memahami perasaan orang lain, serta dapat memberi penilaian dan penghargaan terhadap hasil karya orang lain secara objektif.

            Secara ideal keempat aspek keterampilan berbahasa seperti yang dijelaskan di atas, dalam proses pembelajarannya dapat disampaikan secara terintegritasi atau secara terpadu. Sebagai sebuah ilustrasi, untuk melaksanakan pembelajaran memahami perasaan orang lain melalui karyanya (mengapresiasi karya sastra), siswa harus terlebih dulu membaca dengan seksama  atau mendengar (baca:menyimak) dengan penuh perhatian ketika salah seorang temannya membaca sebuah teks (karya sastra). Dalam kegiatan  ini, telah terjadi proses ketrampilan membaca dan menyimak. Kemudian, bila tujuan pembelajaran menginginkan agar siswa  dapat mengungkapkan gagasannya dengan cara menanggapi isi atau nilai-nilai yang terkandung dalam karya tersebut, maka aspek keterampilan membaca dan menulis dapat dimasukkan dalam kegiatan ini, yaitu siswa dipersilakan menyampaikan  tanggapannya secara lisan maupun secara tertulis.


Dengan demikian, dalam pembelajaran apresiasi sastra, keempat aspek ketrampilan berbahasa tersebut dapat terlaksana secara terpadu. Dengan membaca dan memahami sebuah cerpen saja, seorang siswa dapat mencapai empat standar kompetensi sekaligus, juga dapat memetik nilai-nilai kehidupan yang tercakup di dalamnya. Aminuddin mengatakan bahwa dengan mengapresiasi karya sastra siswa dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan dan memperkaya wawasannya (1987:62). Memahami nilai-nilai kehidupan dalam sebuah cerita fiksi dapat membantu siswa dalam  menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari-hari secara efektif seperti yang mendasari pelaksanaan kurikulum berbasasis Komptensi.
S. Effendi mengatakan bahwa kegiatan mengapresiasi karya sastra merupakan kegiatan menggauli karya tersebut dengan sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diungkapkan bahwa untuk  mengapresiasi sebuah karya dengan baik, seorang siswa harus benar-benar memahami karya tersebut. Unsur-unsur instrinsik seperti tema, alur, dan perwatakan tidak akan dapat dianalisis bila siswa  tidak mendengar dengan seksama dan membaca dengan sungguh-sungguh cerita yang dibacanya. Misalnya, sebuah tema cerita akan sulit ditemukan bila siswa tidak maksimal mendengarkan atau membaca cerita tersebut. Perwatakan tokoh cerita tidak dapat diidentifikasi, bila siswa tidak serius memahami cerita. Begitu pula halnya dengan  nilai-nilai kehidupan (unsur ektrinsik) yang terdapat dalam sebuah cerita tidak akan berhasil ditemukan bila dalam proses pembelajaran  siswa kurang peduli dan tidak aktif. Bila proses pembelajaran dilaksanakan dengan cara berkelompok, seorang siswa harus ikut melibatkan diri secara aktif dalam kelompok diskusinya karena memahami sebuah cerita (cerpen) sangat membutuhkan keseriusan dan kesungguhan.
 Pada  kenyataannya, seringkali  guru dihadapkan pada permasalahan bahwa siswa kurang serius dalam memahami cerita. Sebagian siswa tidak sungguh-sungguh menikmati karya sastra (misalnya cerpen) yang didengar, dibaca atau dibahasnya sehingga hasil belajar menjadi  kurang memuaskan. Di samping itu, suasana belajar juga kurang menyenangkan dan kurang  hidup, bahkan terasa membosankan. Siswa kurang termotivasi ketika belajar. Permasalahan seperti ini penulis temukan selama mengajar. Berdasarkan hasil wawancara yang tidak tersetruktur sebagian siswa mengatakan bahwa pembelajaran memahami karya sastra tidak menarik, sulit dan membosankan. Menurut mereka, belajar dengan cara bekerja sama (berkelompok) memang dapat menjadi alternatif untuk menghilangkan kejenuhan, tetapi mereka juga mengeluh karena belajar dengan cara berkelompok yang selama ini dipakai tidak adil dalam penilaian.
 Belajar mengapresiasi karya sastra  yang selama ini diterapkan adalah dengan menugaskan  siswa  membaca cerpen lalu diminta menentukan unsur instrinsik (tema, alur, perwatakan, seting, sudut pandang dan amanat) dan ekstrinik (nilai moral, nilai budaya, nilai sosial dsb). Biasanya proses belajar dilakukan dengan berkelompok atau individu di kelas, dan bila tidak selesai karena tidak cukup waktu, pekerjaan dilanjutkan di rumah (dijadikan PR).
Setelah penulis amati, ternyata proses pembelajaran  dengan metode pembelajaran seperti ini sangat tidak efektif karena tidak semua siswa terlibat aktif dalam kelompoknya. Sebagian siswa kurang memberi respon yang baik ketika proses pembelajaran berlangsung. Metode ini memberi kesempatan kepada siswa yang terbiasa malas atau kurang aktif  memanfaatkan temannya yang rajin. Sedangkan siswa yang terbiasa rajin dan tekun akan merasa tidak diperlakukan adil karena nilainya disamakan dengan semua anggota kelompoknya. Hal ini juga seringkali menjadi alasan siswa untuk memilih-milih teman bila diminta membentuk kelompok diskusi. Di samping itu, suasana belajar kurang terkondisi dengan baik. Siswa yang  tidak serius akan mencari kesibukan sendiri sehingga menimbulkan keributan dan mengganggu siswa yang serius bekerja. Padahal dalam kegiatan mengapresiasi sebuah karya sastra, seorang apresiator harus melibatkan pikiran, emosi (perasaan), dan evaluasi atau penilaian terhadap karya tersebut (Aminuddin, 1993:14). Hal ini menegaskan bahwa seseorang tidak akan dapat mengapresiasi sebuah karya sastra secara optimal bila dia tidak terlibat secara optimal juga dengan karya tersebut.
Tulisan ini akan menjawab pertanyaan para guru bahasa Indonesia tentang bagaimana menciptakan proses pembelajaran yang menarik, menyenangkan, dan tidak membosankan, serta bagaimana  meningkatkan motivasi  dan kemampuan siswa dalam memahami unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra, khususnya cerpen sehingga hasil belajar yang diperoleh menjadi maksimal dan memuaskan.
Dalam tulisan ini akan dijabarkan penerapan  model Jigsaw dalam proses pembelajaran memahami unsur instrinsik (tema, alur, perwatakan, latar, susut pandang dan amanat) dan ekstrinsik (nilai moral, nilai budaya, nilai sosial) karya sastra. Penulis berharap dengan menggunakan metode pembelajaran alternatif ini, para guru bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dapat mengajar dengan lebih variatif, inovatif, dan tidak membosankan siswa. Penerapan model Jigsaw  ini dapat meningkatkan motivasi siswa dalam memahami unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra (cerpen, novel atau puisi). Di samping itu juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam memahami unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra.

Model Pembelajaran Alternatif  Jigsaw (Tim Ahli)
Jigsaw atau model tim ahli merupakan salah satu alternatif model pembelajaran yang dikembangkan oleh Elliot Aronson dan diadaptasi oleh Slavin dan kawan-kawan dari Texas University. Model pembelajaran dengan cara berkelompok ini dapat diterapkan dengan  langkah-langkah berikut ini

   1. Guru membagi siswa beberapa kelompok (beranggotakan 5-6 orang). Jumlah kelompok sebaiknya sesuai dengan jumlah topik/masalah yang akan dipelajari (disebut kelompoka asal)
   2. Guru memberikan sejumlah materi/topik/masalah yang akan dipelajari kepada tiap kelompok (akan lebih baik dalam LKS buatan guru).
   3. Selanjutnya guru meminta siswa untuk mempelajari materi/topik/masalah tersebut (dengan waktu 5-10 menit)
   4. Guru menyuruh ketua kelompok untuk membagi materi/topik/maslah tersebut kepada masing-masing anggotanya untuk dipelajari. Jadi, masing-masing anggota kelompok mendapatkan satu materi/topik/masalah yang berbeda.
   5. Guru meminta kepada siswa yang diberi tugas/tanggung jawab materi/topik/maslah yang sama untuk berkumpul membentuk kelompok baru (disebut kelompok ahli/spesialis). Dan selanjutnya mereka bekerjasama mempelajari materi/tugas yang telah diberikan.
   6. Setelah dirasa cukup, guru meminta mereka (kelompok ahli/spesialis) untuk kembali ke kelompok asalanya, dan diiminta untuk menjelaskan materi yang telah dipelajarinya kepada semua anggota kelompoknya sampai semuanya memahami materi tersebut. Penjelasan materi dilakukan secara bergiliran sesuai dengan materi yang diberikan guru.
   7. Guru meminta masing-masing kelompok ahli untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.
   8. Guru memberi evaluasi/kuis kepada semua anggota kelompok (langkah ini tidak harus dilaksanakan tergantung pada tujuan dan waktu yang ada (Darkuni, 2006:7).


Kegiatan  Pembelajaran dengan Model pembelajaran Alternatif Jigsaw
Proses pembelajaran yang dilaksanakan dengan menerapkan model Jigsaw  dapat meningkatkan motivasi siswa untuk bekerja sama dengan teman-teman sekelompoknya. Pembelajaran benar-benar terkondisi dengan baik. Pada kegiatan  pembelajaran tidak terlihat siswa yang santai dan memanfaatkan teman sekelelompoknya yang tekun dan rajin. Semua anggota kelompok ikut terlibat aktif membahas materi yang menjadi tanggung jawabnya.(kelompok asal)
Pada saat kelompok tim ahli berdiskusi, setiap perwakilan kelompok antusias mempertahankan argumentasi, masing-masing menagajukan pendapat dan tanggapan terhadap masalah yang didiskusikan. Begitu juga halnya ketika anggota tim ahli kembali kepada kelompok asal. Secara bergantian mereka menjelaskan temuan atau hasil diskusi mereka kepada teman-teman sekelompoknya, sehingga semua anggota kelompok memahami semua unsur instrinsik dan ekstrinsik yang didiskusikan sebelumnya.
Belajar dengan menggunakan model Jigsaw memang menuntut siswa untuk lebih kreatif dan aktif bekerja sama dengan teman-teman kelompoknya. Model pembelajaran ini tidak hanya melibatkan siswa secara total dalam kelompoknya, tetapi juga merupakan rangkaian belajar yang saling berhubungan timbal balik antarkelompok. Model  pembelajaran yang berbasis kerja sama atau gotong royong dan melatih kemampuan berkomunikasi antarkelompok belajar. Siswa akan termotivasi untuk menghargai pendapat orang lain dan berani berbicara mempertahankan argumentasinya.
Penerapan model Jigsaw dalam pembelajaran apresiasi sastra sangat tepat dan mudah diterapkan. Model pembelajaran ini melibatkan siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing anggota kelompoknya memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok setiap anggota saling bekerja sama dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran. Dengan demikian, hasil belajar siswa dalam mengapresiasi sebuah karya sastra (memahami unsur instrinsik dan ekstrinsiknya) akan meningkat dan memuaskan. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil belajar yang diperoleh siswa baik secara berkelompok maupun secara individual.
Model Jigsaw dapat menjadi alternatif yang tepat dalam usaha membantu siswa untuk mencapai kompetensi  secara berkelompok maupun secara individu. Di samping itu, model ini juga dapat mengukur kompetensi siswa dari berbagai aspek keterampilan berbahasa (mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara)
Jigsaw merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat membantu seorang guru; tidak hanya guru bahasa Indonesia dalam melaksanakan proses pembelajaran. Motivasi belajar siswa secara bekelompok dan bekerjasama antaranggota kelompok sangat baik sehingga situasi belajar yang dilaksanakan menjadi lebih efektif dan kondusif. Belajar bahasa Indonesia terasa lebih bervariasi, mengasyikkan dan tidak lagi membosankan.
Menciptakan suatu iklim belajar yang kondusif dan proses belajar yang efektif, menyenangkan serta hasil belajar siswa yang maksimal, tentulah merupakah harapan semua guru. Memilih Jigsaw sebagai salah satu model pembelajaran alternatif untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan siswa merupakan  pilihan yang tepat. Sebagai guru bahasa Indonesia, saya sangat merasakan manfaatnya karena dengan menggunakan model ini, keempat aspek keterampilan berbahasa (mendengarkan, membaca, berbicara dan menulis) dapat terlaksana dengan baik. Penilaian hasil belajar lebih objektif karena siswa tidak mendapat kesempatan untuk bermain-main/ santai dalam menyelesaikan tugas kelompoknya.  Untuk itu, saya menyarankan kepada para guru (tidak hanya guru bahasa Indonesia) untuk dapat menerapkan model Jigsaw (tim ahli) ini dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Semoga motivasi belajar peserta didik dapat ditingkatkan dan kemampuan mereka dalam memahami materi pelajaran lebih maksimal. Selamat mencoba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar