Pages

Subscribe:

Labels

Kamis, 16 Februari 2012

permasalahan pendidikan dasar di Indonesia

Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) secara tegas dinyatakan: "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional." Menurut definisi yang berlaku umum, anggaran pendidikan adalah keseluruhan sumber daya baik dalam bentuk uang maupun barang, yang menjadi input dan dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Segenap sumber daya tersebut bisa berupa investasi untuk pembangunan prasarana dan sarana (gedung sekolah, ruang kelas, kantor, perpustakaan, laboratorium), biaya operasional, penyediaan buku dan peralatan, serta gaji guru. Setiap komponen sumber daya berkaitan langsung dengan keberlangsungan pelayanan pendidikan sehingga harus dihitung sebagai satu kesatuan pembiayaan pendidikan.

Namun kewajiban konstitusi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi sepenuhnya hingga saat ini. Buktinya APBN Tahun 2008 yang telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR menetapkan alokasi anggaran pendidikan hanya 12 persen. Dalam RAPBN 2008, alokasi untuk anggaran pendidikan hanya sebesar 12 %, jauh di bawah ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Formulasi anggaran pendidikan 20% kemudian dirumuskan oleh Pemerintah dan DPR dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas, bahwa gaji pendidik dan biaya kedinasan tidak termasuk dalam anggaran 20%, bahwa pemenuhan amanah konstitusi dengan cara bertahap seperti dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU sisdiknas adalah tidak dibenarkan.

Kenyataannya APBN 2007 pun tidak sesuai dengan amanah konstitusi. Anggaran pendidikan masih berada pada level 11,8%. karenanya MK dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2007 kembali menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut anggaran pendidikan adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional pada APBN 2008 ini. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan keputusan bahwa APBN 2006 dan APBN 2007 melanggar konstitusi. Jadi, dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20% berarti pemerintah dan DPR bersama-sama mengabaikan keputusan MK.

Rupanya keputusan MK itu tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008), dan terakhir 20,1% (2009).

Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5% dari APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9,7 persen dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun.

SARANA PRASARANA PENDIDIKAN KURANG MENDUKUNG

Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia selain tergantung kepada kualitas guru juga harus ditunjang dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.
Tapi sayangnya, hingga sekarang ini, sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki sebagian besar sekolah di Indonesia masih kurang memadai seperti fasiltas laboratorium dan sebagainya. Sarana dan prasarana ini padahal sangat vital dalam kegiatan proses belajar dan mengajar. Sebagian besar alat peraga di sekolah-sekolah masih kurang terkontrol baik dari segi mutu, harga dan sikap pribadi para pengusaha sarana pendidikan.

Padahal setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Tanpa ada sarana dan prasarana yang mendukung proses Pendidikan, pendidikan di Indonesia akan sulit mengalami kemajuan. Dengan terpenuhinya sarana dan prasarana akan sangat menunjang atas tercapainya suatu tujuan dari pendidikan, sebagai seorang personal pendidikan kita dituntut untuk menguasi dan memahami administrasi sarana dan prasarana, untuk meningkatkan daya kerja yang efektif dan efisien serta mampu menghargai etika kerja sesama personal pendidikan, sehingga akan tercipta keserasian, kenyamanan yang dapat menimbulkan kebanggaan dan rasa memiliki baik dari warga sekolah maupun warga masyarakat sekitarnya. Lingkungan pendidikan akan bersifat positif atau negatif itu tergantung pada pemeliharaan sarana dan prasarana itu sendiri.

MASALAH KEPROFESIONALAN GURU

Guru adalah ujung tombak dalam proses pendidikan. Berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan serta tinggi rendahnya kualitas suatu pendidikan ditentukan salah satunya oleh guru. Demikian pentingnya peranan seorang guru tentunya membawa pada suatu tanggung jawab untuk menjalankan profesi tersebut dengan suatu sikap profesionalisme yang tinggi. Dan dalam menjalankan profesinya, seorang guru tidak hanya dituntut untuk mampu memberikan pengetahuan kepada anak didiknya, akan tetapi juga harus mampu menanamkan suatu nilai – nilai pendidikan dengan guru sebagai modelnya.

Dalam menjalankan profesinya, seorang guru harus melakukan dua fungsi sekaligus yaitu; fungsinya secara moral yang mana ia diharuskan membimbing anak didiknya tidak hanya dengan kecerdasannya akan tetapi juga dengan rasa cinta, dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Dan juga menjalankan fungsi kedinasannya yaitu mendidik dan membimbing para anak didiknya agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

Seperti yang telah disampaikan diatas bahwa Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar – mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan SDM yang potensial dibidang pembangunan. Oleh karena itu, Guru yang merupakan salah satu unsur dibidang kependidikan harus berperan serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam arti khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswanya pada kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Oleh karena itu menurut saya, Guru tidak semata – mata sebagai pengajar yang melakukan transfer of knowledge, akan tetapi juga sebagai “pendidik” yang melakukan transfer of values dan sekaligus sebagai “pembimbing” yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar. Berkaitan dengan masalah ini, sebenarnya Guru memiliki peranan yang unik dan sangat kompleks didalam proses belajar – mengajar, dalam usahanya untuk mengantarkan siswa atau anak didik ke taraf yang dicita – citakan. Oleh karena itu, setiap rencana kegiatan Guru harus dapat didudukan dan dibenarkan semata – mata demi kepentingan anak didik, sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya.

Berkenaan dengan peranan seorang Guru, maka profesionalisasi seorang Guru sangatlah penting untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Namun demikian, membahas masalah profesionalisasi seorang Guru tidak dapat lepas dari persyaratan atau kualifikasi – kualifikasi yang harus dipenuhi. Dalam hal ini berkaitan dengan kualitas intelektual dan mentalnya untuk menjalankan fungsinya sebagai seorang pendidik dan pembimbing. Bagi saya secara pribadi memaknai “profesionalisme” seorang pendidik lebih kepada aspek afeksi seorang pendidik. Dimana seorang pendidik yang tidak profesional lebih hanya seorang “pekerja” yang hanya memberikan kewajibannya saja untuk mengajar dan menuntut haknya “uang” semata tanpa memikirkan aspek psikologis para murid dan tanggung jawabnya sebagai pendidik. Sekarang ini jarang sekali kita temui seorang pendidik yang benar – benar berdedikasi secara luhur dan berdasarkan panggilan hati nuraninya sebagai seorang “Guru”. Saya termasuk orang yang kurang sependapat kalau “uang” adalah faktor utama yang dapat meningkatkan keprofesionalisasian seseorang terhadap pekerjaannya atau lebih tepatnya tanggung jawabnya. Kesejahteraan “uang” bukan satu – satunya alasan seorang pendidik untuk menjadikannya sebagai senjata ampuh untuk mereka mengeluhkan keprofesionalan pekerjaan mereka, pada akhirnya peserta didik lah yang akan menjadi korbannya.

RENDAHNYA KESEJAHTERAAN GURU

Faktor lain yang menjadi masalah dalam perkembangan Pendidikan Dasar adalah kesejahteraan guru. Hal ini sangat berimplikasi terhadap rendahnya kinerja seorang Guru. Dalam menyikapi masalah satu ini, banyak yang pro dan kontra terhadap masalah “kesejahteraan” yang selama ini telah menjadi permasalahan yang belum ketemu ujung pangkalnya. Sebagian orang beranggapan bahwa sangat kurangnya kompensasi dari pemerintah terhadap kinerja guru mengakibatkan kurang profesionalnya para guru di negara kita selama ini. Akan tetapi ada juga yang beranggapan bahwa “kesejahteraan” itu tidak dapat sepenuhnya menjamin keprofesionalan seorang Guru dalam bekerja. Kesejahteraan itu muncul apabila seorang Guru dapat bekerja secara profesional dan bersungguh – sungguh menjalankan tugasnya dengan penuh keikhlasan dan dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan. Seandainya “kesejahteraan” yang diberikan terlebih dahulu kepada yang lebih layak menerimanya terlebih dahulu adalah para pendidik yang berada dipedalaman – pedalaman yang sudah barang tentu dedikasinya terhadap pendidikan sangat baik. Sebagai contoh seorang “Butet” yang pendidikan terakhirnya S2, dengan penuh dedikasi mengabdikan dirinya pada pendidikan anak – anak disuku Anak Dalam dipedalaman Jambi dan sekarang kalau tidak salah dia berada dipedalam Papua. Kita patut mencontoh terhadap perjuangannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa memikirkan kesejahteraan dan kenikmatan dunia semata. Orang semacam ini yang seharusnya mendapatkan “kesejahteraan” yang selama ini dielu – elukan oleh para pendidik di negara kita, dan seharusnya kita malu!
Permasalahan – permasalahan yang ada di dunia pendidikan sudah harus kita sikapi dari sekarang, kita harus memperbaiki kesalahan – kesalahan yang telah kita lakukan terutamanya terhadap LPTK di negara kita untuk lebih selektif dalam penerimaan mahasiswanya. Sehingga jurusan – jurusan keguruan dan kependidikan kita sekarang berisikan tidak hanya orang – orang “nomer dua” yang terpaksa dalam memilih jurusan dan bukan karena panggilan hati nuraninya sebagai pendidik. Hendaknya dilakukan seleksi yang ketat dan profesional, tidak hanya secara intelektual saja akan tetapi juga harus diberikan tes bakat dan minat terhadap calon tenaga pendidik tersebut, sehingga kita dapat menciptakan tenaga – tenaga pendidik yang mantap secara intelektual dan dedikasinya terhadap dunia pendidik. Apalagi di era pengetahuan seperti sekarang ini, apabila permasalahan – permasalahan dalam dunia pendidikan seperti sekarang ini belum juga dapat ditanggulangi dengan segera, maka dunia pendidikan kita akan semakin tertinggal jauh baik secara kuantitas dan kualitasnya.

Yang sangat kita khawatirkan adalah kecenderungan orang – orang untuk menjadi seorang pendidik hanya beralasan pada masalah “kesejahteraan” semata, tanpa adanya panggilan hati nuraninya sebagai pendidik. Apabila ini dibiarkan maka akan semakin membuat terperosoknya kualitas pendidikan di negara kita, khususnya terhadap kualitas pendidik dinegara kita.

Upaya dalam menyikapi profesionalisme tenaga pendidik dalam usaha untuk meningkatkan mutu pendidik sekaligus juga mutu peserta didik di negara kita. Salah satunya melalui kebijakan mengenai sertifikasi guru yang sekarang ini sedang digembar – gemborkan. Pada dasarnya sertifikasi adalah upaya untuk meningkatkan profesi seorang pendidik agar setara dengan profesi – profesi yang sudah ada seperti; dokter, pengacara, psikolog, dan lain sebagainya. Pada hakikatnya profesi adalah suatu pernyataan atau janji seseorang yang mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau layanan karena orang tersebut merasa terpanggil menjabat pekerjaan itu. Sedangkan sertifikasi pada hakikatnya adalah pemberian sertifikat kompetensi atau surat keterangan sebagai pengakuan terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan setelah lulus uji kompetensi. Apabila dihubungkan dengan profesi guru, maka sertifikasi dapat diartikan sebagai surat bukti kemampuan mengajar dalam mata pelajaran, jenjang dan bentuk pendidikan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar